Orang Terkaya di Indonesia Itu Juragan Traktor
TEMPO.CO, Jakarta
- Keberuntungan memang tengah hinggap di keluarga Hamami saat ini.
Berbisnis alat berat sejak dekade 1970-an, keluarga ini masuk dalam
daftar 10 orang terkaya Indonesia versi majalah ekonomi Forbes, dengan taksiran aset US$ 2,2 miliar.
Adalah Ahmad Hamami, sang kepala keluarga, yang menjadi nakhoda utama bisnis ini. Sebelum menjadi pengusaha, pria yang kini berusia 81 tahun itu berkarier sebagai penerbang di jajaran TNI Angkatan Laut.
Perjalanannya sebagai prajurit cukup cerah. Hamami muda bahkan sempat mendapat pendidikan pilot di Angkatan Udara Belanda (Militaire Luchtvaart) dan menyandang predikat kolonel termuda pada akhir 1960.
Sayang, karier militernya lantas terhenti. Seperti dikutip dari Forbes.com, Hamami pensiun dini lantaran muak dengan wabah korupsi yang ada di tempat kerjanya saat itu. Setelah pensiun, Hamami memulai bisnis kecil-kecilan. Awalnya, ia membuka les matematika untuk pelajar di rumahnya. Anak-anaknya membantu menopang keuangan dengan berjualan es lilin.
Dewi fortuna hinggap kala seorang kerabat mengajaknya terlibat dalam penggarapan proyek infrastruktur. Saat itulah Hamami berkenalan dengan manajemen Caterpillar, pabrikan traktor dan alat berat lain yang berbasis di California, Amerika Serikat.
Caterpillar, yang sebelumnya memiliki agen penjualan di Surabaya, melirik Hamami sebagai dealer pengganti lantaran tertarik dengan latar belakang militer dan reputasinya yang bersih. Ia lantas mulai belajar manajemen secara profesional dan mengambil kuliah bisnis.
Maraknya pembangunan infrastruktur pada pertengahan dekade 70-an membawa angin segar pada bisnis traktor. Order bertambah, pundi-pundi Trakindo pun makin tebal.
Tapi jalan tak selalu mulus. Tahun 1999, saat krisis ekonomi merebak, Trakindo terpukul dan Hamami berusaha keras melunasi utang US$ 118 juta.
Selepas itu, tak ada bank yang mau membiayai bisnisnya. Tak cuma bisnis yang lesu, kesehatan Hamami pun menurun. Ia terserang glaukoma dan mengalami kebutaan hingga saat ini.
Lepas krisis, perlahan Trakindo bangkit. Di bawah komando Rachmat Mulyana alias Muki, putra ketiga Hamami, perusahaan ini tumbuh dan beranak-pinak. Kini, tak cuma bisnis traktor dan alat berat karena mereka juga menggarap sektor pertambangan, pembiayaan, logistik, hingga teknologi informasi. Hebatnya, hingga 2009, perusahaan ini berkembang tanpa mengandalkan utang.
Kepada Forbes, Muki mengatakan tahun lalu pendapatan mereka mencapai US$ 2 miliar dan akan tumbuh hingga US$ 3,2 miliar tahun ini. Ditargetkan pada 2015 mereka bisa membukukan pendapatan US$ 6 miliar. Toh, meski sayapnya kini melebar, ia mengatakan bisnis utama Trakindo tetap alat berat. "Ibaratnya, alat berat menjadi roti dan mentega bagi kami," kata dia.
Adalah Ahmad Hamami, sang kepala keluarga, yang menjadi nakhoda utama bisnis ini. Sebelum menjadi pengusaha, pria yang kini berusia 81 tahun itu berkarier sebagai penerbang di jajaran TNI Angkatan Laut.
Perjalanannya sebagai prajurit cukup cerah. Hamami muda bahkan sempat mendapat pendidikan pilot di Angkatan Udara Belanda (Militaire Luchtvaart) dan menyandang predikat kolonel termuda pada akhir 1960.
Sayang, karier militernya lantas terhenti. Seperti dikutip dari Forbes.com, Hamami pensiun dini lantaran muak dengan wabah korupsi yang ada di tempat kerjanya saat itu. Setelah pensiun, Hamami memulai bisnis kecil-kecilan. Awalnya, ia membuka les matematika untuk pelajar di rumahnya. Anak-anaknya membantu menopang keuangan dengan berjualan es lilin.
Dewi fortuna hinggap kala seorang kerabat mengajaknya terlibat dalam penggarapan proyek infrastruktur. Saat itulah Hamami berkenalan dengan manajemen Caterpillar, pabrikan traktor dan alat berat lain yang berbasis di California, Amerika Serikat.
Caterpillar, yang sebelumnya memiliki agen penjualan di Surabaya, melirik Hamami sebagai dealer pengganti lantaran tertarik dengan latar belakang militer dan reputasinya yang bersih. Ia lantas mulai belajar manajemen secara profesional dan mengambil kuliah bisnis.
Maraknya pembangunan infrastruktur pada pertengahan dekade 70-an membawa angin segar pada bisnis traktor. Order bertambah, pundi-pundi Trakindo pun makin tebal.
Tapi jalan tak selalu mulus. Tahun 1999, saat krisis ekonomi merebak, Trakindo terpukul dan Hamami berusaha keras melunasi utang US$ 118 juta.
Selepas itu, tak ada bank yang mau membiayai bisnisnya. Tak cuma bisnis yang lesu, kesehatan Hamami pun menurun. Ia terserang glaukoma dan mengalami kebutaan hingga saat ini.
Lepas krisis, perlahan Trakindo bangkit. Di bawah komando Rachmat Mulyana alias Muki, putra ketiga Hamami, perusahaan ini tumbuh dan beranak-pinak. Kini, tak cuma bisnis traktor dan alat berat karena mereka juga menggarap sektor pertambangan, pembiayaan, logistik, hingga teknologi informasi. Hebatnya, hingga 2009, perusahaan ini berkembang tanpa mengandalkan utang.
Kepada Forbes, Muki mengatakan tahun lalu pendapatan mereka mencapai US$ 2 miliar dan akan tumbuh hingga US$ 3,2 miliar tahun ini. Ditargetkan pada 2015 mereka bisa membukukan pendapatan US$ 6 miliar. Toh, meski sayapnya kini melebar, ia mengatakan bisnis utama Trakindo tetap alat berat. "Ibaratnya, alat berat menjadi roti dan mentega bagi kami," kata dia.
Komentar
Posting Komentar